Ditiap Kepergian

Tiap-tiap kepergian itu meninggalkan rasa sakit, baik yang diam-diam atau pun berpamitan.
Berpikirku untuk menyendiri sampai kesendirian itu menghantarkan aku pada status jalang.
Dia yang berlayar hingga jauh,
Dia yang berlari dan tak kembali,
Dia yang ku peluk namun memberi hangatnya pada yang lain.
Dia jadikan aku si malang yang tersakiti, lalu kesakitan ini membuatku ingin mengadu dalam pelukan ibu.
Dia yang ku sapa namun tak pernah menoleh,
Dia yang ku kejar namun semakin kencang berlari,
Dia yang ku kecup namun rasanya ada pada yang lain.

Tiap-tiap kepergian itu meninggalkan dendam, baik yang merentangkan pelukan atau pun menggengam kepalan. Sejujurnya aku tidak memiliki keberanian untuk datang mengadu pada ibu, sebab keberanianku mencintaimu adalah dendam yang akan berujung pada laknatnya. Aku takut dilaknati oleh perempuan yang menyimpan surga dibawah tapak kakinya. Jadilah kupilih bercerita pada langit, menguraikan seluruh riwayat malangku padanya. Riwayat dari isi kepalaku yang mampu kau nikmati namun tak mampu kau pahami.

Yang teruraikan pada langit,
Aku hidup tanpa penjelasan. Datang dari rahim ibu dengan mengabaikan keberadaan bapak. Keduanya  sepakat untuk tidak menjelaskan kenapa mereka menumbuhkan aku. Jadi ku niatkan saja untuk tidak seperti mereka. Diam-diam saling mencintai tanpa menjelaskan apa itu makna cinta. Karnanya tidak perlulah aku menjelaskan kenapa aku mencintainya. Dan bodohnya dia tidak mampu memahami itu, dia pergi diam-diam seperti ibu dan bapak, padahal tadinya aku ingin menjadi yang paling setia, menunggunya kembali dengan harap dia hanya lalai dalam memberiku kabar. Bertahun harapan itu pun terwujud, adalah kenyataan yang sia, ku temukan dirinya, tanpa tahu aku siapa baginya.


Aku berlari, meneduh, dan memejamkan mata. Waktu berlalu, tanpa penjelasan aku dipertemukan denganmu. Aku jatuh cinta, mencintai dan bercinta denganmu. Lama tidak merasakannya lagi dan terlalu cepat ini terjadi. Kamu berpamitan setelah melepaskan kecupan hambarmu yang tak mampu aku cerna. Kita kembali saja lagi seperti dulu, katamu. Caramu pergi dengan berpamitan seperti ini sama menyakitkannya dengan keperginya yang diam-diam. Pamitmu menyadarkan aku tentang keberadaan kita, tak pernah sekalipun kamu berucap cinta apalagi bilang merindukanku. Aku terlalu sensitif menanggapi perhatianmu, terlalu yakin dengan bekas-bekas kecupan kita, terlalu mudah percaya pada cinta sendiri. Jadi aku maknai kata perpisahanmu sebagai kita tidak pernah saling kenal.

Kepergiannya dan kepergianmu meninggalkan jejak bahwa ditiap-tiap kepergian itu meninggalkan kenangan yang mungkin akan terlupakan atau tersimpan. Dan aku memilih menyimpan baik kenangan-kenangan kita. Mungkin saja suatu hari dia atau pun kau akan kembali untuk mencari beberapa kepingan kenangan yang hilang. Pada suatu hari dalam kemungkinan yang pasti. 

Postingan Populer