Minggu, Rindu Disitu.
Aku tahu, kau tahu. Ada
yang selalu menunggu karena rindu, minggu di situ.
“Aku mengenakan dress
bunga-bunga dengan jepitan kupu-kupu dirambutku, dan aku memakai sepatu convers
kesukaanku, persis seperti yang aku sering ceritakan padamu.”
“Aku memakai kaos putih
dilapisi kemeja
biru dengan jeans rombeng yang kau suka itu, tak
perlu kau bergincu, aku tahu kau lebih manis tanpa itu, ingat pintaku.”
Tepat waktu, keduanya tidak ingin menunggu. Tepat disebrang jalan mereka
bertemu. Dress bunga-bunga tanpa gincu tersenyum menangkap lambaian tangan
jeans rombeng kemeja biru. Langkah
sepatu convers itu menyebrang dengan riang, sampai ditengah jalan muncul sebuah
mobil dari tikungan yang melaju kencang dan kejadian itu begitu cepat,
samar-samar matanya menangkap wajah kekasihnya
berlumuran darah dipinggiran trotoar, diam tanpa gerak. Ia berusaha menghampiri
namun matanya seperti teriris, perih, terasa sangat sakit yang kemudian membuat
dunia mendadak hening dan kelam.
Seminggu lagi acara pernikahan Dinda
dan Arya akan digelar. Segala persiapan menyambut hari bahagia itu secara
keseluruhan sudah hampir rampung. Kisah asmara yang terjalin selama dua tahun akhirnya
berujung juga di pelaminan. Dinda, di dalam kamarnya duduk di hadapan meja rias.
Perasaan bahagia, takut, sedih menyatu dalam degup jantung yang makin menjadi, degdegan
itu kian terasa. Seperti inikah rasanya akan menjalani kehidupan baru, sebagai
seorang istri dari Arya Guna dan sebagai seorang Ibu dari anak-anaknya kelak. Ini
adalah impian sederhana dari setiap wanita, dan kini ia akan meraih mimpi itu. Dinda
menarik udara dan menghelanya perlahan, membuang segala keraguan yang
membumbung di dada, tersenyum sambil mengenakan jepitan rambut di kepalanya lalu
iapun pergi meninggalkan kamar.
“Aku mengenakan dress bunga-bunga dengan jepitan
kupu-kupu dirambutku, dan aku memakai sepatu convers kesukaanku, persis seperti
yang aku sering ceritakan padamu.”
Suara tepuk tangan dan sorak sorai
memenuhi ruangan dengan dominasi ornamen kayu. Lampu-lampu hangat menghiasi
langit dan sudut ruang, di isi oleh deretan sofa panjang berlapis bludru dan
mejanya yang tersusun rapi dengan berbagai ukuran. Sebuah penampilan yang memukau, selalu
meninggalkan senyum dihati para pengujung. Petikan gitarnya, suara lembutnya
dan wajah tampannya yang teduh menjadikan dirinya seperti bintang. Bintang yang
tak pernah redup dari peraduannya. Dan seperti biasa, ia tersenyum, sedikit membungkuk, memberi ucapan terima
kasih kepada semua orang, lalu beranjak meninggalkan panggung menuju pintu
keluar, melewati beberapa meja pengunjung yang kembali melanjutkan obrolan
mereka sambil menikmati menu café chocolate and coffee.
“Aku memakai kaos putih
dilapisi kemeja
biru dengan jeans rombeng yang kau suka itu, tak
perlu kau bergincu, aku tahu kau lebih manis tanpa itu, ingat pintaku.”
Ibu Dinda masih saja khawatir, hafal
anaknya akan pergi kemana, untuk itu ia berusaha mencegahnya. Namun Dinda tetap
memaksakan keinginannya. Ia menyakinkan Ibunya bahwa ini adalah minggu terakhir
ia mendatangi tempat itu, janji Dinda. Ibunya menatap Dinda lekat, janji, iapun
melepaskan anaknya pergi dengan was-was.
Satria mulai menjauhkan jarak dari kafe
yang makin lama makin mengecil dan kini menghilang ditikungan depan. Ia mempercepat
langkah searah matahari terbenam, terseret, satu pertanyaan yang tidak pernah
ia tanyakan pada siapapun, diam terbenam dalam pikirannya. Minggu petang di
taman kota.
“Minggu
depan aku akan menikah…. Arya, Dia seorang yang tulus”. Suara lembut itu memecahkan keheningan.
“Mereka
bilang, aku adalah wanita paling beruntung di dunia… iya karena Arya tidak hanya mapan, ia juga rupawan”.
“Kau tahu?,
betapa orang-orang disekelilingku ingin aku bahagia dengannya, gilanya Arya itu
penyabar tangguh”,
“Apa lagi alasanku untuk tidak dengan Arya??”
Dinda terbata berusaha menahan tangis dalam senyumnya.
“Jadi setelah sore
ini berlalu aku tidak akan kembali,, ini minggu terakhir aku menemuimu”
“Maaf…, aku
bukan wanita penyabar, aku berkhianat”
Dinda bangun dari duduknya, terdiam beberapa saat,
teringat kembali kenapa ia ada disini sedari lima tahun lalu, ia menarik nafas dalam-dalam,
memenuhi rongga dada, tersenyum, memantapkan hati dan melangkah pergi.
Tertinggal Satria, duduk terdiam di bangku tua, tatapan
matanya kosong mendengar semua ucapan Dinda. Menyalahkan dirinya, kenapa tidak
ia peluk saja tadi. Jika benar ini terakhir minggu ia disini, kenapa tidak
ucapkan salam biar nanti tidak ada penyesalan. Satria mengalihkan pandangannya,
menatap langkah Dinda, mengamati tubuh sempurna wanita itu, rambut hitam
bergelombang dengan dihiasi jepitan kupu-kupu, dress tanpa lengan bercorak
bunga-bunga menampakan warna kulitnya yang kuning langsat, dan kaki jenjang
yang dilapisi sepasang sepatu konvers berwarna cokelat muda, sampai langkah itu
terhenti tepat di depan mobil yang terparkir di depan trotoar. Seorang pria
yang dari tadi berdiri memperhatikan langkah Dinda tersenyum, membuka pintu
mobil, meraih tangan Dinda, melipat tongkat yang menuntun langkah Dinda, dan
Dinda masuk kedalam mobil. Sekali lagi ia menoleh kearah taman sebelum menutup
pintu mobil, tersenyum.
Satria tersenyum, entah untuk siapa. Yang jelas
hatinya terasa sangat damai setelah mobil itu melaju pergi. Pertanyaan yang
tersimpan dikepalanya selama lima tahun terjawab tanpa jawaban.
“Kenapa gue
ada disini?...” Satria tersenyum.
“Bodoh, gue
baru yakin untuk pergi, nggak tahu alasan apa yang buat gue ihklas untuk pergi
dari sini”
“Terima
kasih …”
Satria memandangi tiket penerbangan France Airlance, ia menarik nafas lega dan pergi meninggalkan tempat yang setiap
minggu sore didatanginya sejak lima tahun lalu, Entah untuk apa, tapi ia betah
berdiam disana sampai senja berlalu, dan ini adalah minggu terakhir ia disitu,
selama itu juga tidak ada yang tertinggal dari ingatannya.
Minggu petang
ditaman kota, senja berlalu dalam rona jingga.
Aku tahu, kau tahu. Ada
yang selalu menunggu karena rindu, minggu di situ.
Komentar
Posting Komentar