Putus, Menunggu Tak Lagi Rindu.
Jakarta petang, rona magrib perlahan tenggelam dalam
gelap malam. Lampu jalan serta gedung-gedung tinggi diluar sana sudah menyala
terang mendahului para bintang. Ajune
masih berdiri di dekat jendela kaca yang tidak berdaun, memandang semua yang
ada dihadapannya, langit dan cahaya kota, yang
ada dibawahnya, lalu lalang penghuni kampus biru, dan yang ada dilantai empat
ini, dia dan kesendiriannya.
“Ka June”
sapa seseorang dari
belakang sana.
“Ya” Ajune menoleh, kaget.
“Eh.. Maaf kalo bikin
kaget, aku Della”.
“Della???”
“Iya, follower Kakak di
twitter” tersenyum.
“Ada apa?
ada yang bisa gue bantu??”
“Nggak ada apa-apa” Masih dengan senyum, manis.
“Terus???”
“Emh… mau kenal kakak
lebih deket lagi aja”
“Haghhh” Ajune terkaget lagi.
“Hehe….” Della melebarkan senyum yang
lebih mirip seperti cengiran.
*****
Apa ini, tidak ada angin, tidak ada
hujan, tidak pula ada pos di kotak surat. Ada yang begurau, bilang rindu
padahal baru sekali bertemu. “Della
Pandana, Siapa gue dalam pikirannya” Ajune mengucap nama itu lagi, membalikkan
badan, menatap langit-langit kamar dan memejamkan mata, membiarkan emotikon senyum dibelakang kata
selamat istirahat kakak itu diam dalam HP di bawah bantalnya.
Malam terlalu cepat berlalu, jasad kusut
itu duduk terdiam diatas dipan, kakinya dilipat sila, enggan menyetuh keramik
lantai, dingin, pikirnya masih pagi padahal kamar ini sudah terang oleh cahaya
matahari yang masuk lewat celah ventilasi. Perlahan Ajune memejamkan mata, bukan untuk tidur lagi,
ia menghirup udara yang ada dan melepaskannya teratur. Ajune membiarkan dirinya
berada dalam sinar mentari, sedang menyerap kehangatannya, berharap cahaya pagi
ini dapat mencairkan hati yang masih saja beku. Dan sudah hampir setahun hal
tersebut ia lakukan, disetiap kali ia membuka mata, usaha untuk lepas dari
bayang seseorang, dia yang tak pernah pamit saat pergi.
“Tut tut … tut tut” nada sms dari hp butut itu berbunyi.
“Peri Gigi…” Sontak Ajune membuka mata mencari hp.
“Dapat”
“Selamat pagi kakak,
semangat buat hari ini“ ditambah
emotikon senyum dibelakang pesan tersebut.
“Sial.. Gue pikir dia” gerutunya sambil memencet tombol-tombol hp.
“Semangat juga kamu” lalu dilemparkan hpnya.
“Brukkkk” Suara pintu terbanting keras.
“Makasih kakak, J”
balas Della di ujung
sana.
Ajune pergi keluar kamar, pikirannya
kacau, kesal. Hal yang dilakukannya terasa sia-sia. Tidak ada perubahan sama
sekali. Ia pergi ke dapur mengambil sebotol air putih di kulkas dan meminumnya
tanpa sisa, kembali lagi ke kamar, membaca balasan sms Della, dan membaca ulang
sms yang ia kirim.
“Bodoh….”
Kemudian terdengar suara teriakan keras dari
dalam kamar, ini membuat Ibu
geleng-geleng kepala melihat kelakuan anaknya pagi ini.
*****
Siang ini Ajune berada di perpustakaan
kampus, ia duduk di meja baca paling pojok dengan ditemani tumpukan buku-buku
tebal, terlihat sudah banyak catatan tertulis dibuku tulisnnya, mungkin ia
sedang menulis catatan penting sehingga raut wajahnya terlihat lebih serius
dari biasanya. Tiba-tiba Ajune menghentikan aktivitasnya, matanya berhenti
membaca dan tangannya berhenti menyalin, bebunyian dari perutnya mulai
mengusik, Ajune lupa jika ia belum makan sedari pagi, ia melirik jam tangannya
kemudian menggeser pandangan ke arah jendela, terlihat bayangan disana, badan kurusnya
yang makin menceking.
Usai mengisi perutnya dikantin Ajune
memilih untuk pulang. Mendung menggantung disenja kota, memberi sedikit
kesejukan pada cuaca yang makin hari
makin panas. Mendung mengartikan adanya hujan, ini membuat Ajune tak sabar menantinya.
Ia berjalan meninggalkan kampus menuju halte dekat perempatan lampu merah. Ia
memilih menunggu disana, karena halte tersebut
tidak pernah ramai. Ajune duduk menunggu, masih menunggu, meski bis yang
kearah rumahnya sedari tadi seluyuran berlalu lalang. Ia diam menatap mendung,
menunggu rintik turun. Matanya menerawang jauh, membuat raut wajahnya ikutan
mendung. Sosok itu kembali mengusik pikirannya, dimanapun. Lagi kilasan senyum
itu membuat Ajune kian geram dalam kesendiriannya. Sakit, kenapa rasa itu
begitu menyiksa. tik-tik-tik-tik suara
rintik itu terdengar dari atap halte, begitu cepat dalam hitungan detik hujan
turun dengan derasnya. Ajune menghela
nafas lagi, mencoba menetralkan pikiran dan hatinya.
“Udah lama nunggu ya
kak”, celetuk
seseorang, mengagetkan Ajune.
“Kamu”, dengan ekspresi kaget.
“Iya, hehehe….” Della tersenyum.
“Ngapain kamu disini?”
“Neduh kak, ujan.”
“Kirain nungguin bis
juga”
“Iya kak sekalian”
“Tapi kok gue jarang
liat kamu disini, emang suka nungguin bis dimana?”
“Biasanya sih dijemput
kak, tapi…” nada suara
Della berubah menurun diikuti tekut dan raut wajahnya.
“Tapi lagi pengen
pulang sendiri, hehehe…. Eh kakak pulang kemana?? Lanjutnya lagi
“Kerumah” jawab Ajune datar.
“Rumah“
Suara pelan Della mengulang kata itu. Ia
diam, seketika raut wajahnya benar-benar berubah murung. Ia tidak dapat lagi
menutupi kesedihannya. Beberapa saat tidak ada obrolan antara mereka, ini
membuat suara hujan semakin nyaring terdengar dari telinga Ajune. Ia menoleh
sebentar kearah Della, dan kembali menoleh lagi, kali ini ia memperhatikannya,
ada yang tidak biasa.
“Kamu kenapa?? Sakit?” Tanya Ajune
Della menggelengkan kepala.
“Kok mukanya ditekuk
gitu, laper?” Tanya Ajune
polos.
Della masih tertunduk diam, tiba-tiba ia
sesungukan. Air matanya mulai turun menderas seperti halnya hujan sore ini.
Tangannya menggenggam erat bangku yang ia duduki, seperti bertahan dari sesuatu
yang menyerang dirinya, rasa sakit. Seketika Ajune refleks menggeser duduknya
tepat disamping Della, ia terlihat bingung namun entah keberanian dari mana
yang membuat tangannya merangkul Della dan menepuk-nepuk lembut bahunya. Della
masih menangis, ia terlihat sangat lelah, bersandar di dada Ajune, dan tangisnya menjadi dalam pelukan Ajune di ikuti hujan yang terus
menderas.
*****
“Buk, Ajune pulang” menyalami tangan Ibunya yang sedang
duduk di sofa sambil memencet kalkulator,
masih sibuk dengan hitung menghitung. Matanya mendelik anaknya.
“Aduh, kamu keujanan? cepet
keringin badan kamu abis itu makan, Ibu bikinin teh anget dulu” melepaskan
kacamatanya dan segera beranjak menuju dapur.
Ajune masuk kedalam kamar, menggantikan
pakaiannya, ia mengeringkan rambutnya dengan handuk, didepan cermin ia terdiam
sejenak, mengalihkan padangannya pada bingkai kecil dimeja belajarnya, sesuatu
menyerang dirinya, rasa sakit.
“Jun…” panggil ibu yang menggagetkan dirinya.
“Iya Bu sebentar” Jawab Ajune, segera menuju dapur.
“Sini makan dulu, Ibu
hari ini cuma masakin sayur asem sama ikan goreng, tehnya diabisin biar nggak
masuk angin. Ibu lanjutin kerjaan dulu”
“Bu, disini aja temenin
aku makan” pinta Ajune
Ibunya terhenti sejenak berdiri disebelah Ajune, ada yang berbeda dari
anaknya hari ini, pikirnya. Ibu menggeser keluar kursi disamping Ajune, ia
kembali duduk dan menemani anaknya makan.
“Kamu sakit??” Ibu memegang kening Ajune.
“Nggak panas” lanjut Ibunya.
“Ajune nggak sakit Bu, cuma lagi pengen
ditemanin Ibu”
“Udah gede masih aja
minta ditemanin, manja” ledek
Ibu sambil tersenyum.
Ajune menelan makanan yang ia kunyah, diam beberapa
saat.
“Aku kangen bapak Bu”
Tiba-tiba ibu
terdiam mendengar ucapan dari anaknya dan senyumnya langsung menghilang.
“Sudah, habiskan
makanannya terus kamu istirahat” Ibu
pergi meniggalkan Ajune.
“Bu…” Ajune mencoba menahan Ibunya.
“June… dari dulu Ibu
sudah bilang jangan pernah lagi tanya soal Bapak” suara Ibuk terdengar naik.
“Iya tapi kenapa Bu…
Ibu nggak pernah bilang alasanya kenapa?”
“Alasan untuk
apa???“
“Kenapa Bapak nggak
pernah pulang sampai sekarang”
“Bapak sudah tidak
mencintai kamu lagi” Jawab
Ibu dalam emosi yang kacau.
“Tapi Ibu masih
mencintai Bapak kan”.
“Tidak”
“Tidak, Ibu masih
mencintai Bapak, bukan itu juga alasan kenapa bapak belum pulang dan ….”
“Terserah
kamu, Ibu capek” potong Ibu, lalu pergi meninggalkan Ajune yang terdiam
dimeja makan.
“Ibu masih mencintai
Bapak, tidak mungkin selama 10 tahun ia masih sendiri, menunggu, sama sepertiku” gumam Ajun. Dingin, ia meminum teh panas
yang dibuat Ibunya.
“Maaf Bu,
Ajune rindu Bapak”
Malam makin larut, Ajune masih belum
bisa memejamkan matanya. Pikirannya diracuki banyak hal, ada penyesalan untuk
obrolan yang tidak mengenakan di dapur tadi. Sudah sejak ia SMA ibu memintanya untuk tidak menanyakan perihal soal
bapak dan itu ia turuti sampai kejadian tadi. Entah
kenapa rasa rindu yang tertumpuk dengan bapak begitu dalam hari ini, ia sangat
ingin merasakan kasih sayang seorang ayah
lagi, sama seperti ia kecil. Perasaan ini timbulnya begitu besar, renung Ajune.
Jauh dalam kesediriannya menatap malam dan masih mencoba memecahkan rumitnya persoalan, memikirkan
hal tersebut, kembali Ajune menikmati ingatan tentang
seseorang yang selalu bisa membuatnya nyaman. Ada semangat dalam menjalani tiap
aktivitas saat suara itu menyapanya setiap pagi, ada senyum saat hari begitu
lelah untuk dijalani, ada lelap dalam mimpi panjang saat sapa malamnya hadir sebelum terlelap tidur. Indah, saat-saat indah
itu terhapus begitu saja tanpa sebab. Ajune menutup jendela kamarnya, merebahkan
diri diatas tempat tidur. Menatap langit kamar dan membuka ingatan lainya
tentang dia, rindu itu semakin dalam saat usaha untuk melupakan itu dijalankan. Cinta
itu memang sial. Ajune memejamkan matanya.
”Tut tut…tut tut….” Nada sms dari hp Ajune.
“Kak, maaf kalo aku
udah gak sopan dan ganggu kakak, aku mau bilang makasih udah mau dengarin
cerita aku.” Pesan dari
Della.
“Nggak papa, santai
aja. Semoga semuanya bisa baik kembali, semua masalah pasti ada jalan
keluarnya. Selalu semangat ya”
balas Ajune.
“Iya kak, Della sayang
Ka June”
“J”
Ajune membalas dengan emotikon senyum.
Entah apa maksud dari kata sayang dalam pesan yang
Della kirim tadi, ia tidak terlalu memikirkannya. Ajune kembali memejamkan
matanya, mengingat kembali senyum manis penghantar tidurnya dulu, Si Peri
Gigi.
*****
Satu minggu berlalu, Ajune masih bolak
balik perpustakaan, ia sangat sibuk dengan skripsinya kini, ia memiliki tekad
untuk lulus tepat waktu. Hubungannya dengan Ibu sudah normal kembali, pagi
setelah kejadian malam itu. Karena memang ia dan ibunya sudah terbiasa berdebat
dalam hal apapun, Ajune minta maaf dan berjanji tidak akan mengungkit persoalan
itu kembali. Selain sibuk skripsi Ajune masih berusaha untuk menghapus
ingatannya akan seseorang, ingatan manis yang menempel erat dalam otaknya. Dan
Della, sudah satu minggu ini tidak menyapa Ajune lewat smsnya. Ajunepun tidak pernah
bertanya kenapa, mungkin karena semua berjalan seperti biasanya.
Pukul setengah lima sore Ajune keluar
dari kampus, ia berjalan kearah halte perempat lampu merah. Sesampainya disana
ia mendapati Della diantara dua penunggu kendaraan umum yang duduk dibangku
tunggu. Della menyapa Ajune dengan senyum manisnya lalu menggeser duduk sedikit
ke kiri memberi ruang untuk Ajune duduk dipinggir bangku. Ajune duduk disamping
Della.
“Thanks” Ucap Ajune.
“Sama-sama”
“Nggak dijemput lagi?” Tanya Ajune.
“Ini lagi nunggu
jemputan” jawab Della
“Ka June apa kabarnya?” Della balik bertanya.
“Baik, kamu?”
Balas Ajune.
“Masih belum baik Kak” dengan senyum yang dipaksakan.
“Sabar aja, semua
masalah ada jalan keluarnya kok”
Ajune mencoba menenangkan.
“Ini lebih buruk kak,“ Della menarik nafas lebih dalam.
“Sudah seminggu adik
aku kabur dari rumah, dan belum pulang sampai hari ini” Lanjut Della.
“Astaghfirullah… udah
lapor polisi?” Ajune tersentak
kaget.
“Sudah, tapi belum ada
kabar. Sudah menghubungi keluarga yang ada di daerah, hasilnya juga sama aja” Mata sembab Della mulai berair.
“Aku udah nggak tahu
lagi harus ngapain kak, aku udah gak kuat. Ini semua gara-gara papa dan mama” Della menyandarkan kepalanya di bahu
Ajune, lagi dan menangis.
“Kamu harus sabar,
berdoa, minta yang terbaik pada Tuhan. Ini semua adalah cobaan buat kamu dan
keluarga” Ajune mencoba
memberi semangat buat Della.
“Aku takut kak, takut
papa mama benar berpisah, takut Dhony nggak mau pulang lagi, takut. Aku nggak
bisa berbuat apa-apa untuk menyelasaikan masalah ini” Della terbata, sesungukan.
“Del, jangan
menyalahkan diri sendiri, ini permasalahan orangtua kamu. Mereka seperti itu
karena ada alasannya, dan itu yang tidak bisa dibagi sama kamu dan Dhony. Orangtua
itu punya penyelesaianya sendiri. Kamu hanya perlu berdoa, mintalah yang
terbaik dan jangan pernah berhenti
meminta, hanya pada Tuhan”
Della mendengar semua perkataan Ajune.
Sesekali suara sesungukannya terdengar. Mereka terdiam, tidak ada yang berucap lagi.
“Semua ada jalan
keluarnya, dan itu pastilah yang terbaik” Ajune kembali berucap, berusaha menenangkan perasaan Della lagi.
Della terlihat lebih tenang
sekarang, ia menegakan duduknya lagi, melepaskan sandarannya dari Ajune,
menghapus sisa air matanya yang. Ia menarik nafas dalam dan melebarkan senyum.
Mata sembab itu semakin terlihat sipit.
Mereka terdiam kembali,
tiba-tiba Della menggenggam tangang Ajune. Ajune sedikit kaget dengan tindakan
Della, genggaman tangan itu semakin erat sampai muncul sebuah mobil mewah di
hadapan mereka. Della melepaskan genggaman tangannya dan memberi senyum
manisnya pada Ajune.
“Terima kasih
kak”
Ucap Della sembari beranjak masuk kedalam mobil yang kemudian melaju
meninggalkan Ajune.
Ajune yang tertinggal di halte
malah tersenyum, ia masih merasakan genggaman erat tangan Della, ada rasa yang
timbul untuk itu tapi ia tak tahu jelasnya seperti apa. Ajune menatap tapak
tangannya, menggerakkan jemari-jemarinnya lalu membuatnya menjadi sebentuk
gempalan. Raut wajahnya kini berubah,
senyum yang tadi muncul hilang oleh bayang seseorang yang pernah menggenggam erat
tangannya, dulu.
“Sial, kenapa
ingatan gue nggak bisa lepas dari dia” Ajune memaki dalam riuh suara kendaraan yang memenuhi
jalanan di depannya. Petang sudah menghilang dan malam kini datang. Ajune tidak
ingin pulang.
*****
Berganti musim, bulan ini hujan
jarang sekali terlihat. Ajune menarik nafas lega setelah keluar dari ruang
sidang skripsi. Perjuangnya melewati hari dalam proses menyelesaikan tugas
terberat sebagai seorang mahasiswa kini berbuah manis, ia lulus. Ajune sudah
tidak sabar ingin dapat bersujud pada ibu. Mengucapkan beribu terima kasih atas
doa dari orang yang telah merawat dan membesarkan dirinya hingga saat ini,
akhirnya ia berhasil membanggakan ibunya.
Rasa syukur atas apa yang sudah
diraih Ajune diwujudkan ibu dengan menggelar syukuran kecil dirumah mereka.
Petang setelah magrib acara itu selesai, tetangga dan ibu-ibu pengajian berpamitan
untuk pulang. Tinggal Ajune dan ibunya yang tengah sibuk merapikan rumah.
“Bu, istirahat
gih, biar Ajune yang beresin semuanya”
“Nggak apa-apa
June, bentar lagi juga selesai. Tinggal nyuci piring lagi”
“Biar June
yang kerjain, ibu istirahat aja. Capek kan seharian nyiapin syukuran ini”
“Ibu seneng
kok June. Bahagia banget malah, kamu berhasil lulus dan dapat nilai yang bagus
lagi. Ibu bangga sama kamu”
“semua ini
berkah dari doa ibu, aku hanya perjuangin apa yang udah ibu perjuangkan” Ajune menghentikan pekerjaan
dan menghampiri ibunya.
“Maksih ya bu” Ajune memeluk dan mencium
tangan Ibunya. Tangan lembut ibu mengusap kepala Ajune, air matanya menetes namun
langsung segera ia lap dengan tangannya yang mulai mengeriput.
“Ya sudah, ibu
ke kamar ya June. Kamu kalo sudah selesai langsung istirahat ya” ibu melepaskan pelukannya dan
beranjak masuk kedalam kamar. Ajune melanjutkan pekerjaan, setengah jam
berlalu, malam terasa sangat panjang. Rumah dengan tiga kamar itu sepi tanpa
bisik. Tidak ada mata yang terpejam, larut dalam diam. Ada rindu yang
mengganjal kelopak mata mereka, dua hati yang tak pernah tenang dalam
penantian, satu fikiran yang tak pernah rela melepaskan, bapak kapan pulang??? Tanya Ajune yang diam membalikan bingkai foto
ke alas meja, menyisakan penompang bingkai itu menghadap langit ruangan. Dan di
balik kamar, Ibu membalikan badan, menghadap langit kamar, tertinggal air
matanya membekas membasahi bantal, sedang sisa tangis dipipinya sudah
mengering. Malam tak berbintang, menunggu tak lagi rindu, putus.
*****
Putus, gue
harus benar-benar putus. Gue capek larut dalam penantian nggak jelas. Menahun nikmati
kesakitan, nungguin sesuatu yang nggak pernah ada kepastian. Bodoh, bukannya
rasa bersalah itu udah selesai, penyesalan itu juga udah terbalaskan, tapi
kenapa gue masih aja ngasih harapan buat diri gue sendiri kalo dia juga rindu.
Rindu palsu yang selalu membuat gue mati rasa untuk dapat mencintai lagi, gue
benar-benar tolol. Ajune terus berlari, pikirannya
masih dikacaukan oleh masa lalu. Rasa penyesalan itu selalu menghantui setiap
waktu. Padahal semua cerita sudah usai akan tetapi rindu itu masih belum mau
lepas. Ajune menghentikan gerakan larinya, berjalan pelan sambil mengatur irama
nafas yang masih terengah-engah. Keringat memenuhi wajah serta kaos olahraga
yang ia kenakan.
“Kak...” Sapa seseorang disamping
Ajune.
“Eh... Kamu” Ajune menoleh pada Della yang
sedang mengayuh sepeda
“Hehe...iya
kak, aku juga sedang olahraga pagi, mumpung car free day” Jelas Della.
“Hooo... sendiri??” Tanggap Ajune.
“Ama keluarga” Della tersenyum menjawab
pertanyaan Ajune.
Ajune menatap Della, yang kemudian mereka sama-sama
berhenti.
Ajune
dan Della menyingkir dari keramaian, mereka duduk dibawah pohon rindang yang
menutupi matahari pagi yang mulai memanas. Della mengambil botol minum yang
menggantung disepeda, lalu disodorkan pada Ajune yang tengah menyender pada
batang pohon. Saat Ajune sedang minum, Della mengelap sisa keringat yang
menempel di kening Ajune dengan penuh perhatian. Ajune berhenti minum, membuat botol
itu tertahan dibibirnya, sedikit ragu matanya melirik Della yang dengan lembut
mengelap keringatnya. Apa yang terlihat oleh mata Ajune adalah sebuah keindahan
yang terpancar dari paras cantik wanita disampingnya. Terpaku, membuat waktu
berjalan melambat.
“Kak...” suara Della memecahkan lamunan Ajune. Sontak
membuat Ajune kelagapan, tersedak oleh air yang belum sampai kedalam
tenggerokannya, Ajune terbatuk, menepuk dadanya, mengalihkan pandangannya dari
Della yang malah tertawa melihatnya salah tingkah.
“Eghem...” Della mencoba mengembalikan
suasana namun masih menahan tawanya.
“Maaf kak, nggak
bermaksud...”
“Iy... eee...
iya... ” potong
Ajune sambil melemparkan senyum yang lebih mirip seperti cengiran.
“Keluargaku
udah kembali seperti dulu kak, Papa dan Mama nggak jadi pisah. Semenjak Dhony
kabur dari rumah, mereka mulai menyadari kesalahan masing-masing. Dan semua
permasalahan diantara mereka sudah selesai, semua kembali berjalan normal” Cerita Della.
“Syukur kalo
begitu ceritanya” Jawab Ajune bahagia.
“Sekali lagi
makasih ya kak atas suportnya”
“Kamu, selalu
aja bilang makasih... Iya mungkin karena kebetulan aja aku bisa suport kamu
dan...”
“Sebenarnya aku juga mau bilang kalo aku cinta kak June” potong Della.
“Hagh...”
Ajune melongo mendengar perkataan Della.
“Nggak tau kenapa sejak kenal kak June timbul perasaan sayang dan ada
keinginginan untuk deket dengan kakak,
seperti ini”
Della berucap tanpa terlihat keraguan diraut wajahnya.
“Dell, terima
kasih untuk kejujuran kamu dan aku nggak tahu harus jawab apalagi untuk itu” jawab Ajune yang kaget serta
bingung dengan kondisi saat itu.
“Aku ngerti
Kak, aku mencintai ka June tanpa ada alasan. Aku cuma ingin nyampein apa yang
ada dihati aku dan apa yang aku rasain sekarang” Della tersenyum manis menatap
Ajune, yang juga dibalas senyum oleh Ajune. Dan mereka diam dalam kekakuan.
“Mbak
Della...”
teriakan adiknya disebrang jalan. Della melambaikan tangan dan bangun dari
duduknya, ia lalu naik keatas sepeda dan mulai mengayuhnya. Sesaat ia menoleh
kebelakang, memberikan senyumnya pada Ajune yang dibalas Ajune dengan
mengangkat tangan kanannya sebagai
salam perpisahan. Della bergabung dengan
ayah, ibu, dan adiknya. Roda sepeda mereka yang beriringan hilang diujung
jalan, Ajune melepaskan pandangannya dan
melanjutan lagi lari paginya ditemani matahari yang semakin naik.
*****
Agustus terik,
Rindu itu
masih saja melekat sejak kamu mampir tanpa sebab. Saat kamu merentangkan
pelukan, menungguku mendekap dan aku tahu kamu ingin aku membawamu kedalam
duniaku. Namun ku hanya diam berdiri, tak ada gerakan selain senyuman, hingga
waktupun berlalu tanpa aku dan kamu tahu.
Hingga
penyesalan itu hadir saat kamu pergi tanpa sebab. Ingin aku dekap erat
rentangan pelukan dulu tapi sudahlah terlambat. Kamu tak pernah kembali lagi.
Impaslah sudah, dulu rindumu tak terbalas, kini rinduku tak berbalas.
Ajune terhenti dari lamunananya
tersadarkan oleh bunyi sms yang masuk.
“Kak, besok
aku akan berangkat ke Jepang. Aku mendapat beasiswa disana” Sms Della.
“Wah selamat
ya Dell”
balas Ajune.
“Iya kak, ini
impian aku doain semoga lancar”
“Aamiin,
semoga berjalan sesuai rencana, dan jangan lupa berbagi cerita disana. Hehe...
”
“Siappppp Kak, nggak bakalan lupa”
“Hati-hati dan
jaga kesehatan ya” Pesan Ajune
“Iya kak” Jawab Della singkat.
Tak ada lagi jawaban dan niat untuk
menjawab, Ajune memeluk dirinya, sangat merasakan sunyi, merindukan bebunyian
indah yang dulu sering mengusiknya.
*****
Setahun berlalu....
“Hallo...” Ajune
menjawab telpon.
“Hai...”
Terdengar suara merdu mengalun diujung telpon,
melantunkan potongan lagu Afgan, terima kasih cinta dan itu membius Ajune. Dia,
iya dia. Seseorang yang Ajune rindukan, seseorang yang ingin Ajune lupakan,
datang dan kembali lagi, sama seperti dulu. Sejenak dia berhenti bernyanyi dan
mulai bercerita, lagi, membuat waktu berjalan sangat cepat saat itu, sama
seperti dulu. Ajune ingin sekali mematikan Hpnya, mengakhiri saat indah ini.
Bukankah ia sudah berjanji pada dirinya untuk tidak kembali saat semuanya sudah
impas. Semuanya sudah terbalas dulu, mereka sudah merasakan sakit. Sama-sama
sudah merasakan sakit dengan cinta yang tak terbalas, jadi untuk apa lagi
sekarang.
“Aku rindu
kamu, sangat...” ucapnya.
Jempol Ajune tertahan di atas tombol merah saat mendengar
ucapan itu, dan ia tak jadi memutuskan telponnya.
“Sangat rindu
kamu...” jawab
Ajune.
Satu malam di bulan agustus,
mereka merajut rasa itu lagi. Seseorang diujung sana kembali tanpa sebab.
Menjadikan kemarau tak berarti lagi saat ikatan tak jelas itu mampu menyejukan
hati, membekukan panasnya cuaca, dan menghapus kerinduan akan hujan.
Ada yang berbeda, pelukan itu
tak seerat dulu, meski manis senyumnya masih sama. Binar yang timbul dari
matanya menyampaikan kepuasaan akan kerindunya tapi genggaman tangannya tidak
mengatakan hal yang sama. Tak ada yang berani berbicara, tidak ada kata cinta
kali ini, keduanya larut dalam pikiran masing-masing.
Blackberry Ajune menderut
diatas meja menampilkan sebuah pesan masuk.
“Kak, Della
kangen... Apa kabar?”
“Baik, kamu?”
balas Ajune.
“Baik juga,
kak June nggak kangen sama aku?” ditambah emotikon sedih dibelakang pesannya.
“Hehe...
kamunya sih lupa, katanya mau cerita perjalanan kamu di Jepang” Jawab Ajune.
“Iya Maaf kak,
Aku sekarang udah balik. Tapi mau berangkat ke Australi. Lanjut kuliah disana”
“Wah semoga
sukses yah”
“Iya kak,
makasih doanya”
Dia tidak menaruh curiga, si
peri gigi hanya memberikan senyum manisnya lalu pergi meninggalkan Ajune. Kembali,
angin malam berhembus sesuka hati, diam menunggu pesan itu berbalas namun
kenyataannya tidak. Ajune membuka jendela kamar, menengok taburan bintang
diatas sana, menerangkan ingatannya kembali pada seorang diujung sana. Tuhan, salahkah aku merindukan orang yang
ingin aku lupakan.
*****
Udara dingin akibat mendung
yang tak kunjung berunjung menghiasai januari tahun ini. Jalanan basah dan
becek menyisahkan noda disepatu boot Ajune. Pagi seperti biasanya ia menunggu
kereta yang akan menghantarkannya untuk sampai ditempat kerja. Waktu terus
berjalan, perkara hati tidak membuat Ajune berhenti untuk melangkah, meski ia
masih saja menyeretnya dalam tiap perjalanan.
Melupakan dan melepaskan adalah
suatu hal yang sama menyakitkan. Keduanya merekat erat dengan hati dan pikiran.
Saat hati ingin melepaskan, pikiran malah tidak bisa melupakan. Juga ketika
pikiran ingin melupakan hati tak rela untuk melepaskan. Rumitnya sebuah rasa
yang timbul tanpa ikatan.
Mungkin Tuhan menempatkan
beberapa orang yang memang ada untuk kita rindukan, tidak untuk kita miliki
meskipun cinta itu tak pernah padam sampai kau mati. Ajune, membentangkan
senyum.
“Kak..”
seseorang memanggil Ajune.
Lagi suara yang melekat dihati dan pikirannya kembali.
Ajune hendak menoleh kebelakang, namun tertahan, bukan sebab kereta sudah
datang dan pintu gerbong itu terbuka. Ada keputusan yang harus diambil. Putus,
Ajune memutuskan untuk melupakan dan melepaskan keduanya. Empat kali musim
dirasa cukup untuk kerinduan itu menunggu, “aku
bukanlah orang penyabar” Ajune masuk kedalam gerbong. Dan kereta itu melaju
tanpa hambatan pada jalur yang sedikit meliuk, pelan meninggalkan rindu dimasa
lalu. Della si peri gigi.
Komentar
Posting Komentar