Mudik, Rindupun Tak Terobati
Entah apakah ini hanya dirasakan Amadi seorang diri atau orang
lain pun merasakannya juga. Muncul perasaan aneh tiap kali ia akan bepergian
jauh, susah tidur dan malas makan. Jadi semakin cungkringlah pria keriting ini.
Minggu di hari pertama musim libur panjang ditahun ini, dengan langkah penuh
semangat Amadi keluar dari ruang sewanya. Satu koper mengembung terseret dari
tangan kanannya sementara dipunggungnya melekat satu ransel usam yang tak kalah
kembung. Ia menuruni anak tangga dengan menahan berat kedua benda yang
dibawanya, terlihat tertatih namun tak menghapus rona bahagia dari raut
wajahnya. Sesampai di pintu pagar Amadi menahan sejenak langkahnya, membalikan
badan sekedar melihat jendela kamarnya. Lagi
adegan dramatisir berhasil dibuatnya. “Elu itu cuma pulang kampung Di, cuma
seminggu” Karyo menatapnya kesal dari atas motor. Amadi segera manaruh
koper dan duduk dibelakang Karyo. Dan vespa biru itu pun melaju menembus jalanan
ibukota mengikuti petunjuk arah menuju terminal.
Terik matahari yang meninggi menusuk kerongkongan Karyo saat
tiba dipangkalan bis antar kota antar provinsi. Kepalanya memutari terminal
yang semeraut untuk mencari tempat parkir. Tidak ada celah kosong, dan Karyo
tertahan diatara himpitan badan-badan bis.
“Di,
gue turunin lu disini aja yah, gak bisa kedalam lagi”
“Di...”
tidak ada jawaban, Karyo melihat
kaca spionnya
“Kampretttt... bangun lu” Teriak Karyo yang membuat Amadi tersentak kaget, begitupun
dengan orang-orang disekitar mereka.
“Owalah
udah nyampe Yo” Amadi turun dari vespa tanpa dosa, sementara Karyo
jejeritan dalam helmnya.
“Terima kasih banyak yah Yo, elu emang sahabat terbaik gue sepanjang
sejarah” ucap Amadi
sambil menyalami tangan Karyo dan memeluknya.
“Et dah nih bocah” Karyo tidak bisa menahan senyumnya dari balik helm. Emosinya seketika
surut dengan sikap Amadi. “Buruan ambil
koper lu, pegel nih kaki gue” lanjutnya.
“Minal Aidzin Walfaidzin Yo, maaf kalo gue banyak salah dan sering
ngerepotin lu” Amadi
melepaskan pelukannya.
“Iye sama-sama, selamat sampe tujuan ye. Salam buat keluarga lu disana.
Jangan lupa oleh-olehnya” Cengir Karyo dan melepaskan jabatan tangan mereka.
“Haha... itu mah gak bakalan lupa, gue balik dulu ya cuy” Amadi mengangkat kopernya dan
melangkah menuju bis tumpangnnya.
“Adiiiii...”
teriak Karyo
Amadi membalikan badan, mengangkat tangannya. Adagen
dramatisir keduanya “Gak usah sedih cuy, gue
bakalan balik lagi, Cuma seminggu” balas Amadi.
“Helm gue kampretttt!!!!” Teriak Karyo
kesal.
Pukul 11 siang bis yang Amadi tumpangi beranjak meninggalkan
pangkalan, sesuai dengan jadwal keberangkatan. Perjalanan tahunan ini kadang
membuatnya lelah, jalur yang ditempuhnya memakan waktu seharian penuh meskipun ada
alternatif yang lebih cepat, melintasi pulau lewat udara namun sayang harus
memakan ongkos yang lebih besar. Untuk anak rantau yang tiap bulan kehabisan
uang ini memilih mudik dengan jalur darat adalah pilihan tepat.
Amadi melepas pandangnya dari jejeran gedung tinggi ibukota.
Ia mulai memperhatikan seisi bis, sudah kebiasaannya mengamati sesuatu terlebih
mengamati tingkah orang-orang yang dilihatnya. Tidak ada yang menarik, hanya
ada suara deru mesin yang beradu dengan lagu dangdut dari celah speaker bis yang
memenuhi bis dan itu berhasil menidurkan para penumpang, termasuk wanita yang duduk
disampingnya yang diketahuinya sangat irit
bicara ketika tadi ia mencoba mengajak ngobrol. Amadi kembali menatap
keluar jendela, menyingkirkan pemandangan ibukota dengan kilasan perjalanan
panjangnya.
Rumah mungil dipangkal desa itu masih tidak berpagar juga
tidak pula ditumbuhi tanaman hias namun rindang oleh lebatnya daun jambu air
yang tumbuh disudut rumah. Sepi, bukan karena ini sebuah desa tapi memang rumah
dihadapan Amadi nampak sepi. Ia membuka pintu rumah yang tidak terkunci menyeret
kopernya yang tampak lusuh.
“Assalamualaikum bu...” Ketuk Amadi sambil mencari orang
rumah.
“Waalaikumsalam...” Sahut suara perempuan separuh baya yang keluar dari
pintu dapur dengan mengenakan daster tua, mendelik dari balik kacamata tebalnya
mengamati Amadi.
“MasyaAllah nak, katanya gak pulang” terkejut.
“Kejutan bu...” Cengir Amadi sambil
mencium tangan ibunya yang penuh dengan lumuran terigu.
“Tau gitu ibu siapin masakan kesukaan kamu”
“Iya bisa dimasak pas aku disini kan?”
balas Amadi dengan sisa terigu menempel di hidungnya.
“Nggak berubah, masih saja ngerjain
orangtua”
“Sepi bu, pada kemana?” tanya Amadi
“Bapakmu belum pulang, adikmu tau main
kemana. Paling sebentar lagi mereka pada pulang”.
“Aku ke kamar dulu bu, udah apek banget ini.
Mau ganti baju”
“Sekalian mandi gih biar seger, ibu juga mau
lanjutin bikin kuenya”. Ibu kembali ke
dapur dan mengaduk adonan kue yang tadi terlantarkan di atas meja.
Bedug magrib memecahkan kesunyian desa, keluarga pak Ahmad
berbuka dengan tidak banyak obrolan yang tersaji di meja makan, setiap kepala
sibuk menguyah dan menikmati semua rasa dalam pikiran masing-masing, sampai
rona senja menghilang dalam pekat malam. Tidak ada yang ingin membuka
pembicaraan, apalagi membuka pintu untuk keluar menuju masjid.
Diatas dipan, Amadi menelan semua rangkaian kata yang sudah
ia buat di dalam perjalanan mudiknya. Akan sangat aneh menurutnya jika ia
sampaikan, kerinduan yang selama ini tertanam dibiarkan tumbuh liar menjalari
pikiran dan hatinya. Sebab rindu bukan karena ia tak tinggal serumah dan bukan
karena ia ingin merantau. Pilihan untuk menjalani hidup mandiri. Rindu adalah
sebuah pelarian.
Pintu rumah pak Ahmad tidak pernah
tertutup untuk mereka yang ingin kembali setelah lelah berlari. Tidak ada yang
menyuruh para penghuni rumah untuk meninggalkan kamar masing-masing. Setelahya
dianggap bisa memilih, semua diberi kebebasan untuk menjalani hidupnya
masing-masing. Tetap tinggal atau pergi sejauh mungkin.
Dalam remang cahaya bohlam kamar,
Amadi mengamati jejeran buku tulis yang masih tersimpan rapi diatas bufet.
Beberapa sampul buku sudah ada yang mengelupas, namun tidak ada satu buku pun
yang tersobek. Amadi menggores senyum, jejeran buku pelajaran sekolah saat ia
smp dulumasih tersimpan rapi, ini adalah harta karunnya yang paling berharga.
Mengingat kembali, diam dalam tumpukan buku adalah kebiasaannya di dalam kamar
ini dulu. Diam-diam merancang rencana keluar dari rumah ini ketika lulus sekolah
nanti, pergi jauh dan berhasil.
Kini ia pulang, rindu membawanya
untuk datang meski hanya seminggu. Beranjak dari kenangan dipan, Amadi mengintip
dari tepi tirai kamarnya, sebuah mobil sedan merah berplat B memasuki halaman
depan. Sorot lampunya menerangi rumah redup cahaya ini. Tak sampai lima menit bapak
membuka pintu, menyambut tuan mobil yang keluar dari mobilnya. Oh ternyata Ka
Frans dan keluarga kecilnya. Hal ni membuat Amadi ragu, apakah ia harus turut
menyambutnya atau diam dikamar dan berpura tidur.
Seketika ruang tamu menjadi ramai,
obrolan hangat tertuang dari suara bapak, ibu, kak Frans, dan istrinya. Amadi keluar kamar dan membuat
volume suara menurun secara perlahan, kemudian sepi. Mungkin waktu yang tidak
tepat untuk bergabung, sudah kepalang tanggung Amadi menyalami tangan kakak dan
iparnya lalu kembali masuk kamar tanpa mengeluarkan satu katapun. Adiknya
melongo dalam kantuk menyaksikan apa yang ada dihadapannya.
Kau tahu betapa membanggakannya
memiliki saudara yang hidup dikota besar. Meski belum tahu rupanya seperti apa
tapi dalam bayanganku, pastilah dia keren serupa dengan namanya. Disekolah dia
adalah kesombonganku, cerita tentang ibu kota dan dirinya adalah kekayaan yang
aku miliki dan itulah hal yang bisa aku andalkan untuk dapat memiliki teman disekolah. Untungnya mereka percaya dengan
semua ceritaku, dulu. Amadi menghela nafas dibalik pintu kamar menyesali tindakan
bodohnya.
Udara dingin menghinggapi pikiran
dari jasad-jasad yang tak tidur, memaksa para penghuni rumah menarik selimut
agar tidak beku dalam kenangan masa lalu. Dan rindu mengakhiri malam tanpa
banyak pertanyaan. Apakah kita saling merindu?
Takbir sudah berakhir dua hari yang
lalu, kata maaf sudah berlalu.
“Assalamualiakum...”
“Waalaikumsalam...”
serempak jawab ibu, pak Ahmad dan adik.
Amadi pamit meninggalkan keluarga kecilnya tanpa pelukan.
Tangannya merangkul rindu yang tertumpuk
menahun, lagi ia tak mampu merentangkannya. Ia membalikan badan, masih ada
senyum ibunya, sorot damai dari mata bapaknya dan harapan lugu dari lambaian tangan adiknya. Amadi melanjutkan langkahnya, lebih ringan.
Komentar
Posting Komentar