Secangkir Kopi Manis

Aku mempertanyakan perkara jodoh pada angin.
Apakah nona yang rambutnya terkibas itu adalah jodohku sewaktu-waktu kelak?

Aku mempertanyakan perkara jodoh pada rintik hujan.
Mungkinkah wanita berpayung biru itu yang kelak menemani tidurku sepanjang malam?

Aku mempertanyakan  perkara jodoh pada detik waktu
Akankah ada jodohku diantara lalu lalang orang-orang di bandara ini?

Aku mendapati diriku berada di negara yang tak lebih besar dari kota Jakarta. Kabarnya disini kau akan hidup nyaman. Senyaman kau dalam asuhan seorang ibu, makan kau di suapin, mandi kau dibasuh dengan air hangat, dan tidur kau di nina bobokan. Di sini keteraturan di nomor satukan lewat fasilitas publik yang dibuatnya, dan kau tidak akan dibuat stress oleh kemacetan dan semeraut jalan. Ada di sini, aku tanpamu.  

"Cobalah kau lihat dunia selain aku" katamu sebelum kau memisahkan diri dari kursi kayu dihadapaku. Kau pergi meninggalkan senyum manismu seperti biasanya, dan tinggalah cangkir kopi yang bibirnya tak berhasil menyetuh lipstik merahmu, menemaniku memikirkan apakah kita benar-benar terikat dalam cicin dijari manis ini. 

Apa kabarmu?

Dua musim berlalu. Obrolan pahit senja itu tidak membuatku menggantikan kopi pahit sebagai pilihan menu di tiap tempat yang aku kunjungi. Dimana pun keberadaanku, aku tidak menginginkan rasa lainnya. Kepahitan rasa yang terecap mengingatkan aku tentang kamu, dan hambar rasanya memutar waktu bersama kenangan kita. Apakah kau tidak pernah medengar bahwa kabarku tidak sekali pun berubah sedari kau ucapkan kalimat pisah diwaktu lalu.  


"Cobalah kau lihat dunia selain aku" Ku sampaikan kalimat ini pada perempuan yang ibu jodohkan pada ku. Kecantikan sikap dan anggunnya kesabaran yang dimilikinya tidak juga mampu membuatku jatuh hati. Aku menolak keberuntungan hidup, dan aku mengikat diri pada kesendirian jika tidak dengan kamu. Oh betapa keras kepalanya aku.

Keras kepala yang membatu. Mungkikah ini yang membuat kau enggan denganku dan dia yang masih setia bertahan dari perjodohan ini.

"Hati yang menetap pada satu pintu" Dia berjanji bersetia pada penantiannya. Tidak peduli aku denganmu atau aku dengan siapa selain dia. Dan "Cinta tidak mengenal balasan" ia mengakhiri percapakan yang terjadi saat aku mencurahkan rinduku padanya, tentangmu.

Aku tidak pernah mengukur kedalaman cintanya padaku, aku tak pernah tahu betapa dalamnya aku mencintaimu, dan aku pun tidak pernah bertanya apakah kau benar mencintaiku. Yang aku sadari bahwa cinta ini membawa diri pada kesetiaan menunggu, keihlasan mencintai, dan keberanian untu mencintai.

"Secangkir kopi manis" tersedu di senja cerah setelah berjuang melawan kemacetan jalan, Jakarta aku pulang. Tapi aku tidak kembali.


Postingan Populer