Rumah

Sebuah perjalanan menemukan jalan pulang.

Setengah perjalanan hidupku dilalui tanpa pengawasan kalian. Kalian percayakan aku berpetualang sesaat setelah aku pandai berjalan. Aku pun pergi jauh, melangkah menyusuri jalan kehidupan, berjalan tanpa tujuan, berlari tanpa menyadari telah menjatuhkan petuah kalian dan tumbuh jauh dari harapan.

Buk, tidak semua kabar yang terdengar aku baik-baik saja itu benar. Aku belajar berbohong darimu, sebagaimana kau berbohong untuk tidak pernah memperlihatkan rasa lelahmu. Seperti saat kau kerap menyimpulkan senyum saat menahan tangismu. Sesering kau bersenandung dan menari untuk mencampakan rasa rindumu, juga setia hatimu dalam menerima pendamping hidup, sekalipun yang kau temani kerap membuat dadamu sesak.

Buk, bolehkah aku kembali dan terlelap lagi dalam dekapmu? aku ingin mengadu. Ada banyak hari yang terasa sangat panjang untuk dilewatkan juga beberapa waktu yang terasa berat untuk dilalui. Aku berjalan menelusuri keragu-raguan, dipertemukan dengan persimpangan yang menjejakkan kaki-kakiku pada banyak rasa yang salah dan bodohnya aku terus berjalan, meredupkan nyala kebenaranNya. Aku jatuh cinta buk, dan cintaku jatuh ditempat yang salah.  Berkali aku mencoba meluruskan jalanku dan menyalakan kembali cahaya suciNya, berkali itu pula ingatan tentang kecilku yang dipenuhi dosa melintang di depannya. Buk, ada banyak kabar buruk tentangku yang tak pernah disampaikan oleh malaikat, aku terlalu payah menjadi anak lelakimu dan kau pasti kecewa karna aku tumbuh tak sesuai harap, tidak sepemberani dan sekuat bapak.

Bapak, lelakimu yang kau rawat dengan baik. Namun dalam ingatanku ia tak cukup baik. Kau selalu berupaya ada untuknya dalam segala musim, selalu memberikan hangatmu juga segarmu. Aku kadang cemburu, sebegitu setianya kau padanya. Aku pendendam buk, dan kau perempuan pemilik kunci tempat terindah, aku begitu takut jika nanti aku tidak kau bukankan pintumu sebab aku tak memiliki setia dalam menemani perjalanan bapak.

Aku mencari alasan dalam pembenaran jalan yang aku pilih, dendam. Aku menyimpan rapat hal tak baik dari sebab redup dan sunyinya rumah kita, dan aku terlanjur larut di dalamnya. Membawanya kemana kaki melangkah di sepanjang perjalananku, dan ingatan-ingatan itu yang membuatku tak pernah terlihat gemuk saat bertemu denganmu. Dendam ini menyeretku jauh darimu buk, apalagi bapak. Jauh dari jarak dan juga harapanmu. 

Aku terlihat begitu keras kepala, sulit sekali melerai dendam. Tabiat yang diwariskan bapak, dan karena ini pula aku mencintainya dengan caraku. Banyak hal yang ingin kuceritakan padanya, bagaimana aku dapat bertahan menjalani kehidupanku adalah dengan keras yang ia ciptakan dan kadang aku merindukan diamnya yang tak pernah ku ketahui pesan apa dibalik itu.

Keras kepala ini pula yang membuatku tak beranjak menunggunya buk, dia yang datang tanpa pernah bilang untuk datang, dia yang diam-diam membuatku berahasia tentang rasaku, dia yang membangun kembali mimpi buruk yang sudah ku tutup rapat, dia menggairahkan aku untuk jatuh cinta, dia mengajakku untuk menatap betapa luasnya langit biru diatas sana, dia menjadikan aku lelakinya lalu begitu saja meninggalkanku tanpa sebab, pergi tanpa pesan, dan mengabaikan keberadaanku seperti angin. Aku menaruh lagi dendam bu. Padanya, bukan dendam untuk membalas betapa sakitnya hati ini, dendamku memendam tanya, Apa maksud Tuhan menghadirkan dia yang datang dan pergi begitu saja. 

Keras kepalaku, melupakan tidak semudah mencintai. Bagian tersulit adalah menerima keberadaanku yang terabaikan bu, bagaimana bisa ia melupakan semua yang pernah terlewatkan tanpa ada alasan apapun. Apa mungkin dia tidak mencintaiku bu? ah cintaku, cintanya, cinta di dunia ini tidak ada yang seikhlas kasihmu. Buk, kuharap jalan menuju rumah masih sama liuknya. Aku ingin dipelukmu bu hanya saja masih ada dendam yang mengarahkan langkahku melawan arah jalan pulang. Aku sedang berada di banyak persimpangan jalan, tak tahu arah mana yang terbaik. 

Apa yang dapat aku simpulkan untukmu bu?
Aku masih membawa dendam dalam langkahku yang entah bertujuan kemana, apa-apa yang aku temui nyatanya harus berbayar, entah secara terucap atau tidak. Dalam langkahku aku selalu merindukan pelukanmu juga dendamku pada diamnya bapak.

Ibuk, rumahku.

Postingan Populer