Love: When I'm Fall in Love

Seruput kopi terakhir menyisakan ampas pekat pada dasar mug.
Rasanya sedikit pahit” ucapmu.

Tak ada komentar tambahan, aku hanya mengembangkan senyum, perlahan menelan noda kopi ditepian bibirnya. Setelahnya larut, aku bergerak menelanjangi malam yang masih terlalu terang dan hiruk. Menggengam erat jemarinya, melepaskan jauh suara para penggerutu yang mengeluhkan panasnya kemarau di oktober ini. Menyatukan nafas dengannya, menghirup aroma basah dari bulir keringat, lalu menyusup ke dalam dunianya sebelum kedua kelopak mata itu tertutup lelap, dalam dan hangat. Aku melepaskan kecup terakhir dari senyumnya.

Yang ini rasanya manis. Jadi siapa yang berma­lam dalam malam singkatmu” Kau bertanya.

“Entahlah, aku tak mengenalnya dengan baik. Dia menyapa, datang, mengajak berbincang dan aku jatuh cinta. Mengingatnya terbentang senyum saat melerai rasa kantuk. Seperti ini: aku tersenyum. “Oh inikah rasanya pagi”

Ada segar saat kucuran air menyentuh permukaan kulit, sesegar dedaunan rambutan yang terlapis embun dalam pancaran lampu taman ibu kos. Ada hangat dalam dinginnya udara subuh saat menyambut datangnya cahaya matahari timur. Ada aku yang terjaga menunggu sapanya. Pagi yang tidak seperti biasanya, nakal matamu menyirat ingin tahu. 

Pagi ini aku membuat kejutan untukmu, untuk pagi, untuk mentari, untuk petugas kereta yang menyiarkan jadwal keberangkatan KRL, untuk Kang Miun yang tengah terkantuk menjaga warkop 24 jamnya, dan untuk sesiapa yang tidak pernah melihat wajah pagiku. Kabarnya wajah-wajah pagi adalah sejatinya wajah, tanpa bedak, tanpa topeng.

Wajah apa yang kau lihat? Aku masih manis bukan?” Aku mengajak bergurau.
Manis, meski tak semanis aku” Balasmu dengan geli.

Seingatku Jumat. Dia mengajak untuk tinggal, meninggalkan ingatan tentang apa dan siapa. Menanggalkan apa yang melekat dipikiran juga raga. Menyisakan sepasang yang menetap dalam desahan rasa, mulai merayapi apa yang tertinggal, dan saling melekatkan sisi tersembunyi dari pikiran dan raga masing-masing, yang kemudian melahirkan nikmat dan noda tanpa perlu disebut. Begitulah.

“ahhh…. Kamu kenapa begitu lekat menatapku? Aku malu”.

Aku lupa kalau dia pemalu, dalam bicaranya ia enggan menatap mataku. Sayangnya aku terlalu ingin melihat aku dalam cokelat matanya, dan aku terlalu memaksa. Tundukan wajahnya menolak kehadiranku. Ia tak ingin aku ada dalam dunianya. Aku tidak dapat melihat dimana keberadaanku dalam kehidupannya. Aku tidak dapat mengontrol diri. Aku terlalu ingin, aku sedang jatuh cinta dan merinduku yang berlebihan inilah yang mungkin membuatnya diam saat aku menyeruakkan rasa rindu.

“Kamu kenapa mengalihkan pandang, aku hanya berkata jujur tentang rinduku padanya”.

Berlalu dari ucapan rinduku, dengan lantang aku mengatakan aku jatuh cinta. Dan “hahaha…” begitlu kira-kira jawabnya, disela tawa manisnya dengan mengejutkan dia berucap tidak mampu membalas.

Mungkin dia sedang tidak serius, dia pasti sedang bercanda” ucapmu menahan sesuatu. “Tidak”. 

Aku dengan manisnya mengatakan jika aku jatuh cinta padanya. Aku tidak mampu menampung letupan-letupan rindu di hati ini, aku serius. Dan dijawabnya dengan waktu, diabaikan.

Kamu tahu rasanya diabaikan?
Ya, seperti ini”  Kamu mengurungkan pelukanmu.

Cukup lama kita terdiam dan kompak melepas tawa. Ingat akan kita yang dalam diam saling mendoakan, melepas rindu lewat cumbu dalam pikiran masing-masing. Namun sayang, diamnya dia tak mampu ku tebak. Terlahir banyak kemungkinan saat memikirkannya, mungkin dia sedang sibuk, mungkin dia tengah nyenyak terlelap, mungkin dia sedang menyapa, berbincang dengan seseorang atau memang akunya saja yang terlalu berlebihan akan kehadirannya. Karena kemungkinan-kemungkinan ini aku kerap membangun kenyataan bahwa sekalipun aku tidak ada dalam pikirannya, ia sebenarnya memantauku lewat cenayangnya. Aku merasa diawasi, karenanya aku selalu setia dan bersikap baik dalam keberadaanku. Mendengar semuanya, kamu hanya diam menahan prasangka dan emosimu. Ya jangan salahkan orang yang sedang jatuh cinta, abaikan saja aku yang bersikap aneh dan bodoh.

Menerima kenyataan itu sulit, membangun kenyataan adalah cara mudahnya untuk bertahan pada sebuah pilihan.
“Untuk apa bertahan?” Kamu menentang pilihanku.

Teramat sulit menjelaskannya. Dengan cara tersendiri, aku membangun cintaku, merangkai bahagiaku, mengungkapkan pertanda. Apa alasan Tuhan mempertemukan aku dengan dia? Kamu diam, aku pun turut. Diam tidak tenang bersamaan dengan datangnya sinar mentari pagi. Bias terangnya menampakan wajahmu yang meraut kekecewaan.
Ketika jatuh cinta, aku menemui kekecewaan pada sesiapa yang beranggapan aku tidaklah sebaik kebaikanku. Kenapa jatuh cinta di tempat yang salah, sekiranya itulah komentar yang betah bertahan di kepalamu.

“Lalu kenapa memilih dia”  Seperti tanyamu, aku pun sedang menuntaskan pertanyaan dikepalaku, kenapa aku memilih dia ketika jatuh cinta. Aku terlanjur jatuh pada ruang yang dalam dan tanpa dasar, mencintainya adalah kenyataan yang fiksi lalu faktanya aku dan kamu saling mencinta yang percuma sebab kita tidak pernah memilih untuk bersama.

Pagi beranjak penuh, saut-sautan suara klakson dari jalan utama kota ini menguapkan embun, membuat kita menjadi basah. Kamu mengelap pipimu, aku mendiamkan diri dibawah kucuran shower, dan kita menghentikan tanya tentang kebenaran dari mencintai.


Postingan Populer