Rindu Ini Untuk Siapa?
Tinggal sedikit lagi Red,
come on... Redi menyemangati diri
sendiri. Matanya fokus pada desain gambar dalam photoshop yang sedang di
editnya, tak lama tanganya lincah memencet tombol CTRL+S pada keyboard. Done!!! Ia menghela nafas lega, pekerjaan
tambahan dari atasnya selesai juga dikerjakan. Ruang kerjanya terlihat kosong, Redi melihat jam diding yang menunjukan angka sembilan
lewat dua puluh lima menit. Ia mengangkat
mug berisi kopi yang hanya tersisa sekali seruput lagi. Slurpp... Sisa ampas kopi melekat dipinggir bibirnya, terasa pahit
namun jadi bagian ternikmat baginya saat menikmati kopi.
Dalam
sepi suasana kantor, Redi menangkap dengan jelas suara jarum jam dinding yang
bergerak memutar. Larut, semakin lama terdengar semakin melarutkan dirinya dalam
kesendirian. Prang... mug ditangan Redi pecah terjatuh dan menyadarkan dirinya
yang terlelap di kursi kerja. Hening, Redi mengusapkan wajah dengan kedua tapak
tangannya, bangkit dari tempat duduk dan membersihkan pecahan mug dilantai. Ada
kokosongan dalam dirinya saat memunguti beling yang berserakan, terdiam dan
beranjak mematikan lampu dan meninggalkan ruangan. Ada yang tertinggal, rasa rindu
akan sesuatu.
“Hallo Beb....”
“Kamu udah tidur?” Pukul 23:45. Redi
melirik jam tangannya.
“Baru mau tidur. Kamu udah pulang?”
“Udah, baru aja sampe”
“Tumben malam-malam telpon? Kamu
nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa. Cuma kangen sama
kamu”
“Gombal banget sih, tadi siang juga
ketemu”
“Namanya juga kangen”
“Ya udah kangennya besok aja. Kamu
bersih-bersih sana, aku mau istirahat. Besok mesti bangun pagi ada rapat”
“Iya sayang, selamat istirahat”
“Kiss... Love you beb”
“Tututut...”
Redi
menutup tirai jendela kamarnya mengaburkan kerlap kerlip cahaya lampu ibukota. Sonia, bukan dia. Rindu ini untuk siapa?
Sinar
matahari menyelip di sela-sela ventilasi, memberi terang pada ruang kamar yang
berantakan. Redi mengeliat dikasurnya, mengecangkan otot dalam kantuk yang
masih lekat. Ia bangun dari tempat tidur, menarik tirai hingga membuat kamarnya
semakin terang. Geliat kesibukan masayarakat pekerja sudah terlihat dibawah
sana. Jalanan yang mengarah ke pusat ibukota sudah dipadati berbagai jenis kendaraan.
Pemandangan sama yang setiap harinya dilihat oleh Redi dari jendela kamar sewanya.
Bosan dengan apa yang terlihat, Redi beranjak menyalakan Tv, terhubung satu
chanel yang tidak pernah ia ganti sedang menyiarkan program berita ringan pagi
ini. Ia meninggalkan penyiar dan laporan beritanya, duduk di hadapan meja yang
dipenuhi banyak tumpukan buku, diam tanpa tindakan.
Datang
lagi perasaan rindu itu, lebih dalam dari semalam. Semakin dalam semakin terasa
kosong. Redi mengetuk-ngetuk jarinya diatas meja. Mencoba mencerna rasa
tiba-tiba ini. Pikirannya masih dibuat beku dengan rasa rindu yang entah
tertuju pada siapa.
Kereta
meliuk mengikuti alur rel, terlihat Redi tidak begitu semangat menempuh
perjalanannya menuju kantor, matanya sayu menatap keluar jendela, lelah ia pun
menyandarkan kepalanya pada badan kereta, memejam memilih untuk tidur. Ditengah
hatinya yang gundah, ia mendengar suara tangisan anak kecil di ujung gerbong.
Redi menoleh ke sumber suara, terlihat seorang ibu yang sedang berusaha
menenangkan anaknya. Ia masih memperhatikannya, perlahan suara tangisan itu
mereda dan hilang, kini si bayi terlelap dalam pelukan ibunya.
Ada
segaris senyum yang muncul setelah melihat kejadian tadi. Redi terkenang akan masa
kecil saat bersama ibu dan saudarnya. Kenangan indah yang tidak pernah lepas
dari ingatannya. Meskipun tidak banyak namun ia memilikinya. Menyelami masa
lalu membuatnya tak sadar jika ia sudah berada di stasiun yang dituju. Redi
segera bangkit dan terburu turun dari gerbongnya, berhasil keluar dari kereta yang
kini beranjak menuju stasiun Gondangdia.
Dengan
langkah kilat Redi menuruni anak tangga, keluar dari stasiun dan memberhentikan
taksi. Ia menujukan arah pada sopir, arah yang berlawanan dengan tempat
kerjanya.
“Hai Mam... “
Sapa Redi dengan kaku.
Perempuan
separuh baya dengan tatanan rambut di ikat sanggul terkejut saat menoleh ke
sumber suara.
“Redi?”
Ia melepaskan busana yang dirapikannya dan menghampiri Redi yang berdiri di
depan pintu masuk.
“Apa kabar Mam”
tanya Redi singkat
“Kamu apa kabar nak?”
yang balik bertanya sambil memeluk erat Redi.
Diam, Redi tak menjawab pertanyaannnya ibunya. Ada haru
yang tertahan di raut wajahnya saat air mata sang bunda tertumpah dibahunya.
Diam, ia tak mampu untuk mengucapkan kata dan terdiam Redi dalam pelukan
ibunya.
Ruang
kerja hangat dengan banyak jendela, beberapa lukisan dan bingkai berisi photo model
dengan busana pengantin terpajang di tembok bercat pink muda. Redi duduk di
sofa tamu di dampingi ibunya.
“Kamu masih marah dengan Mama?” Ibu
Redi memulai percakapan.
“Awalnya, tapi sekarang udah nggak
Mam”
“Maafin mama... Mama merasa berdosa
karena nggak bisa menjaga kamu nak, mama menyesal, mama ...” matanya
kembali berair.
“Mam.... Nggak ada yang perlu
disesali” potong Redi
“Karena mama gak bisa jadi ibu yang
baik, keluarga ini jadi berantakan”
“Berhenti nyalahin diri mama sendiri,
mungkin sudah jalannya seperti ini mam. Perpisahan mama dan papa adalah jalan
terbaik..... Meski memang sulit buat semuanya bisa menerima”.
Ibu Redi diam dengan pipi basah.
“Mam, Lihat yang sekarang. Mama
bisa kuat dengan kemandirian mama. Aku kuat setelah bisa menerima kondisi ini.
Papa dan Ka Meta juga bahagia setelah kita nggak hidup bersama”
“Maafin mama Red” tertunduk lemah.
“Kadang kebahagian itu tidak selalu
ada dalam kebersamaan Mam... Nggak perlu lagi disesali... Redi selalu sayang
mama” Redi memeluk ibunya, memberikan kekuatan pada
wanita yang telah melahirkannya.
Lima tahun kisah pahit itu berlalu dalam pelukan. Redi
mengembalikan senyum ibunya, menghapus
penyesalannya di masa lalu. Ibunya sudah terlihat cerah kembali, nampak lebih
bahagia dari sebelumnya, terbukti dari kerutan diwajahnya tenggelam oleh rona
kebahagiaan. Redi melepaskan pelukkannya, pamit untuk pergi meninggalkan wanita
kuat itu melanjutkan pekerjaannya. Ia keluar, sesaat menatap plank yang
tepampang diatas pintu masuk, kembali tersenyum. Tidak ada yang berubah dari
Butik Nyoya Sofyan, tempat dimana keluarga Nurcahyadi Sofyan memecahkan diri
mereka memilih kebahagiaan masing-masing.
***
Kenyataan
bahwa pertemuan ia dan ibunya hanya sekedar melepas porsoalan dimasa lalu, bahagia
namun tidak membuat perasaannya normal kembali. Rasa rindu itu makin menjadi,
seminggu sudah ia hidup dalam kegelisahan, sulit tidur, membuat marah sonia
karna ia tertangkap banyak diam dan melamun. Ia benar-benar tidak bergairah
menjalankan aktivitas kesehariannya.
“Tok Tok”
Suara ketukan pintu itu terdengar, Redi bersembunyi dalam selimutnya, malas
beranjak dari tempat tidur.
“Red...”
Suara lembut seorang wanita yang sudah tidak asing lagi dari telinga Redi. Ia
bangkit dan membukakan pintu.
Menyembul
kepala oval wanita dengan badannya gemuk dan senyum merekah dibibirnya,
mengamati isi kamar Redi, puas dan memonyongkan bibirnya.
“Ya ampun, ini kamar apa gudang”
serunya sambil masuk tanpa memperdulikan Redi yang mengiringnya dari
belakang. Ia membuka tirai jendela,
sekejap membuat Redi menyipitkan mata, silau terkena sinar matahari.
“Barantakan banget sih Red”
Novi menatap Redi dengan dahi berkerut dan tangan tersilang di dada, seperti
seorang guru yang ingin mengintrogasi murid nakalnya. Redi tersenyum, ia lupa
jika Novi memang seorang guru.
“Ndut, pagi-pagi udah ngomel aja.
Gak pengen melukin sahabat lu paling ganteng ini” Redi
melebarkan tangannya.
“Dasar lu, cungkring bau”
melepaskan silang tangannya dan memeluk Redi. Pelukan hangat dari sahabat
mengalahkan hangatnya matahari pagi ini.
“Lu apa kabarnya, kangen gue sama
lu”
Novi melepaskan pelukanya.
“Baik ndut, lu sendiri gimana?”
Tanya Redi balik
“Gue baik, selalu baik Red” senyum wanita
berambut kerinting ini menunjukan perkataannya benar.
“Red, gue tau kondisi lu lagi gak baik. Perihal
apa itu gue juga gak tau penyebabnya. Kalo lu gak mau cerita juga gak apa-apa,
jelasnya lu gak bisa bohong dengan itu” Novi langsung saja mengatakan apa
yang dipikirannya.
Redi
duduk di pinggir kasur, menyadari apa yang terjadi. Sahabat terbaiknya selalu
saja tahu apa yang dirasakannya.
“Bukan gue nggak mau cerita, gue
nggak tahu apa yang terjadi Ndut, tiba-tiba saja gue jadi kayak gini” jawab
Redi dalam keadaan bingung.
“Pasti ada peyebabnya Red, apa yang
terjadi sama lu”
“Entahlah Ndut, perasaan gue
kosong. Cuma itu yang gue rasaain” Redi terdiam.
Novi
diam, pikirannya mencoba menelaah apa yang diucapkan Redi. Setelah hampir
sepuluh tahun baru saat ini ia tidak bisa merasakan apa yang dirasakan
sahabatnya. Redi bukanlah seorang penyerah, ia mampu bertahan dalam kondisi
tersulit sekalipun, bukan seorang penggalau yang larut dalam permasalahan tanpa
penyelesaian, bukan ... ini bukan Redi yang selama ini ia kenal.
Novi
duduk disamping sahabatnya, membuat suara ranjang itu berdenyit. Ia tidak tahu
harus apa untuk dapat membuat Redi kembali seperti dulu. Ia seperti tidak
memiliki kemampuan, tidak bisa menyerap perasaan kosong sahabatnya.
“Kalo perasaan lu kosong, mungkin
ada yang belum lu miliki sekarang Red” Novi menggengam tangan
Redi.
“Apa itu Ndut?”
“Gue nggak tahu itu apa Red...
Jelasnya bukan apa yang lu miliki sekarang, bukan keluarga lu, bukan Sonia,
bukan juga gue”.
Redi
diam, menyandarkan kepalanya pada bahu Novi. Memikirkan perkataan sahabatya,
entah apa yang tidak dimilikinya sekarang. Ia merasa sudah cukup dengan apa
yang ada saat ini meskipun semua itu tidak berlebihan.
“Gue rindu akan sesuatu Ndut” ucap
Redi lirih.
“Siapa?”
tanya Novi.
“Nggak tau, perasaan itulah yang
buat gue kosong”
“Siapapun yang lu rinduin sekarang itu pastinya
bukan gue, bukan nyokap lu, bokap lu, saudara lu atau sonia .... gue bisa kasih
saran buat lu Red”
“Apa itu”
“Coba lu pahami diri lu lagi, ruang
kosong di hati lu itu untuk siapa?”
Redi
diam. Diam mengartikan saran dari sahabatnya.
“Gue nggak bisa lama-lama Red, gue
jemput Sheila. Kalo lu perlu gue datang aja kerumah”
Novi melepaskan diri dari sandaran Redi, ia menuju pintu dan keluar dari ruang
berantakan itu, ia melihat Redi yang masih diam tertunduk disana.
“Bruk..”
suara pintu itu tertutup.
Redi
tak bergerak, jasad kusut itu diam mematung. Kepalanya masih tertunduk, jarinya
mencengkram erat sarung kasur dan membuatnya mengkerut. Redi berusaha mengingat
siapa pengisi ruang kosong dihatinya. Terasa begitu dalam, begitu menyiksa.
“Arghhhhh.....” suara
jeritan menggema dalam ruang itu. Tubuh Redi gemetar, pandangannya nanar keatas,
terengah-ngah.
Rindu ini untuk siapa
.... Tuhan ?
Komentar
Posting Komentar