Sedamai Malaikat Pagi

Malaikat pagi, 
Seperti biasa Ibu sudah menyiapkan sarapan untuk ku, diatas meja makan sudah ada nasi goreng dan teh manis. Aku yang sudah rapi dengan seragam putih abu-abu menikmati sarapan dengan ditemani Ibu yang sedang membuat sarapan untuk ayah, kakak dan adikku. Lima menit sarapanku selesai, aku mencium tangan Ibu. Pamit berangkat ke sekolah. 

Hari ini aku berangkat lebih awal.  Aku tak ingin terlambat, tak pedulikan mentari yang masih terlelap aku terus mempercepatkan langkah. Beruntung lampu jalan belum padam cahayanya cukuplah membantuku. Setibanya disekolah, kudapati gerbang masih tergembok rapi. Haha... Aku bersemangat sekali senin ini.

" Pancasila...
Satu... Ketuhanan Yang Maha Esa
Dua... Kemanusian Yang Adil dan Beradab
Tiga... Persatuan Indonesia
Empat... Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan.
Lima... Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia."

Aku menutup teks pancasila yang barusan ku baca. Lantang, lancar tanpa terbata. Aku tersenyum bangga untuk hari ini berkesempatan  menjadi petugas upacara sebagai pembaca teks Pancasila. Terima kasih untuk Bu Warni yang sudah memilihku. Aku bahagia pagi ini.

Beruntung mendung datang ketika jam sekolah sudah berakhir. Jadi Aku dan sahabatku Melati tak kepanasan hari ini, kami berjalan santai di trotoar yang tadi pagi ku lalui sambil membahas pelajaran yang tadi dipelajari. Sesekali kami tertawa karena ada hal yang menggelitik dalam obrolan. Rintik mulai turun, kami mempercepat langkah. Saat berbelok di perempatan jalan, ada keramaian di depan sana. Banyak pelajar yang mengadu bambu, saling lempar batu. Melati panik, begitu juga denganku. Kami berhenti dan berbalik arah, tapi dibelakang muncul rombongan pelajar lainya dengan membawa senjata tajam. Situasi makin tak terkendali, kami terhimpit tawuran. Aku meraih tangan Melati, berlari menerobos mencari celah. Tapi kenapa langkahku terasa berat, terlepas dari tangan melati, aku ambruk. Cahaya kilat menampakkan  warna merah di baju putihku. Merah, seperti bagian atas bendera yang berkibar di upacara tadi. Seketika guruh membahana diatas sana, dan rintikpun mulai menyerbu.

Aku melihat ada seorang berdiri dengan senyum puas disana, entah siapa dia aku tak tahu. Sepertinya dia sangat bangga, kebanggaan yang sama seperti yang kurasakan tadi pagi. Karena itu aku membalas senyumnya. Tapi aku sedikit marah, samar-samar kulihat darah yang menempel di pisaunya jatuh mengenai bed osisku. Ingin ku katakan bahwa aku tak menyukai itu tapi hujan meredam kata-kata yang ingin ku ucapkan. Dan aku hanya diam, benar-benar diam.

Malaikat pagi,
Aku dapat melihatmu sekarang, ternyata wajahmu begitu damai.
Sedamai yang kurasakan saat ini.

Komentar

Postingan Populer