Mati Muda

Tanpa alasan tiba-tiba aku mati. Aku sudah tidak bernyawa lagi di usiaku yang masih muda. Hilanglah sudah mimpi untuk menapaki kaki ke tanah Eropa, berdiri tegak di menara Eiffel. Tidak akan ada lagi cita untuk dapat mendongenkan cerita pada anak-anak itu, kisah tentang sang penakluk mimpi. Dan hati yang ku jaga selama ini yang hanya untukmu, tidak akan dapat kau miliki.

Semenit lalu aku masih bisa merasakan angin menyentuh kulitku, gerimis membasihi rambutku, dan   masih bisa ku dengar suara hati yang berbisik jika aku masih muda. Dan kini aku tak dapat merasakan apa-apa lagi. Aku tergeletak tidak nyaman dengan darah yang mengalir deras dari kepala, mengotori lapangan sekolah.

Lalu gerimis menderas, hujan membasahi tubuhku, aku diam tak bergerak, aku benci dingin tapi tidak dengan hujan. Aku mendengar jeritan, ada air mata berpadu dengan suara guruh. Aku melihat keramaian, aku seperti aku dimimpiku, seorang bintang yang disaksikan banyak orang. Aku ingin tersenyum dan melambaikan tangan pada mereka dan berkata "Aku mencintai kalian" tapi....tubuhku kaku, tangannku kaku, bibirku kaku, dan mataku tak bisa berkedip. Sedetik berikutnya aku merasakan sesuatu mengangkatku dari hujan, ringan aku terbangun rasanya seperti kapas yang sedang melayang.

Tersentak aku dengan sosok yang terbujur kaku disana. Itu adalah aku. Jelas sekali orang yang dikerumuni itu adalah aku. Dan aku.... Aku ada diatas gedung sekolah, menyaksikan semua yang ada dibawah sana. Ada apa ini? kenapa ada aku disana? Aku ada disini? Ada di atas gedung sekolah. Aku berteriak keras, keras, ..... lebih keras.... makin keras... sampai kepalaku terasa pusing tidak ada seorangpun yang mendengarkan suaraku.

Tiba-tiba aku teringat.
Tadi pagi aku berangkat tanpa uang jajan, sama seperti biasanya. Aku ke sekolah berjalan kaki melewati gang-gang sempit, jembatan, dan trotoar berlobang sama seperti biasanya. Di kelas tadi  aku belajar pelajaran sejarah sama seperti biasanya. Dan aku berada di atas gedung sekolah ketika istirahat, itu tidak sama seperti biasanya. Aku mengingat lagi kenapa aku bisa berada disini.

Tadi pagi sebelum berangkat sekolah aku menemukan bapak terkapar di ruang tamu dengan aroma minum keras menyengat dari badannya. Dan aku tak sempat salam apalagi sarapan karena ibuk sudah tak ada dirumah sejak tiga bulan lalu, setelah bapak mengabulkan permintaan cerainya. Saat aku berjalan digang sempit itu aku tidak pernah merasa nyaman. Tatapan mereka selalu mengatakan aku ini hina, tak bermoral, dan "dasar anak pelacur" adalah kata yang terucapkan. Di kelas tadi aku menyimak dengan berusaha keras memahami pelajaran yang disampaikan pak Kemas. Aku mencoba menjawab pertanyaan darinya, dan jawabanku masih belum tepat. Aku melirik Dewa disampingku. Dia adalah sang juara, tak pernah lepas dari pujian seisi sekolah. Cerdas, cakap, dan keren. Aku mebenarkan posisi kacamataku, menunduk dan iri.

Jam istirahat, mereka berhamburan ke kantin, aku menyusuri koridor sekolah menuju perpustakaan. Disana kudapati Nisa tersenyum manis menyapaku. Mengundangku untuk lebih jauh mencintainya. Aku berhenti sejenak, mengatur nafas kerena aku malu. Tapi tersadar aku ketika Arjuna tak sengaja menyenggol bahuku saat ia berjalan ke arah Nisa. Arjuna dan Nisa, mereka  bercengkrama, mesra. Dan aku berbalik arah, entah kemana aku melangkah.

Ke atas gedung sekolah. Tanpa aku sadari aku berada disana. Saat itu gerimis, dibawah sana tidak ada anak-anak yang bermain basket, bercanda ria di bawah pohon beringin sana, semuanya meneduh. Aku merasakan dingin disini, mulai basah oleh rintik dan anginnya. Suasana ini cocok untukku mengingat betapa menyedihkan kehidupanku. Aku berpikir untuk menyerah saja. Aku masih muda, hatiku mengatakan aku masih muda. Bukan kenginanku untuk mati, aku hanya mencoba untuk tidur lebih lama saja. Berharap aku dapat bermimpi indah.

Aku terbang, terlepas dari kerumitan yang melilit diriku. Aku tersenyum puas, bebas dari semua tekanan  yang selalu menghimpit jalanku. Aku tertawa puas, puas dengan segala apa yang ku miliki. Dan aku terjatuh, sesaat merasakan sakit.

Bukanlah sebuah mimpi saat aku disapa oleh mahluk bersayap berwajah teduh ini. Ia menggenggam tanganku, mengajakku pergi, menjauhkan aku dengan diriku. Bodohnya aku tak menolak. Aku merasa tenang bersamanya. Dia tak mengatakan apa-apa, begitu juga denganku. Kami berjalan menuju satu titik cahaya, entah itu apa, aku hanya merasa hangat. Dan saat ku menoleh kebelakang tak kutemui lagi diriku. Gelap, hanya ada kegelepan disana. Aku menghentikan langkahku, tapi tidak dengan mahluk ini, ia tersenyum mengajaku untuk terus berjalan ke arah cahaya yang mulai redup.

Komentar

Postingan Populer